SELAMAT DATANG >>> Di kota KERINCI TANAH PUSAKA

SELAMAT DATANG >>> Di kota KERINCI TANAH PUSAKA
Sekapur Sirih....

Rabu, 19 Juni 2013

Asal Usul Suku Kerinci (bag.3)

    Melacak Jejak Peradaban Melayu Tua

       Di Jambi, ada masyarakat di lima desa yang tergabung dalam satu marga: Serampas. Walau hidup sederhana, kelompok yang boleh dibilang masyarakat terisolir ini memiliki pandangan hidup yang arif dan kompak, baik sesama mereka bahkan terhadap alam sekitar. Selain Serampas, Jambi juga menyimpan jejak peradaban kuno lainnya: aksara incung. Pemerintah daerah setempat tengah berupaya mengenalkan kembali aksara itu kepada generasi muda. Berikut laporan wartawan GATRA JOGI SIRAIT, yang menelusuri dua jejak peradaban kuno itu beberapa waktu lalu. 
Pagi itu, Jamilah terlihat asyik berkutat dengan tanaman padinya di sawah. Perempuan setengah baya itu dibantu beberapa perempuan lain yang masih tetangga. Pekerjaan rutin itu dilakoninya sejak kecil. Suaminya, Badu Mari, pergi ke ladang mengurusi kebun kulit manis (cassiavera) mereka. Dua anak mereka yang masih kecil sudah berangkat berjalan kaki menuju sekolah untuk menimba ilmu di tingkat dasar.

Pada malam hari, perempuan itu menyiapkan santap malam buat seluruh anggota keluarganya. 

Beruntung, keluarga sederhana ini tak perlu bergelap-gelap ketika makan. Sudah empat ini mereka menikmati listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Sebelumnya, mereka hanya menikmati hidangan di bawah temaran sinar dari lampu minyak. Usai makan, mereka mengobrol seadanya sebelum akhirnya beranjak tidur. 


Dalam sepekan, setiap hari Rabu atau Kamis mereka rutin pergi berbelanja ke Desa Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Perjalanan sejauh 34 km itu mereka tempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan barang-barang diangkut dengan kuda. Pekerjaan yang sama dilakoni keluarga ini selama bertahun-tahun.
Begitulah potret sehari-hari keluarga Badu yang mencerminkan pola hidup sederhana marga Serampas di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Desa ini terletak di posisi paling ujung, berjarak 142,5 km dari Bangko, ibukota Kabupaten Merangin.

Ada lima desa tempat bermukim rumpun Marga Serampas: Renah Kemumu, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas, Tanjung Kasri, dan Renah Alai. Kelima desa ini berada dalam satu kecamatan. Desa yang paling dekat atau yang pertama kali kita jumpai jika mau masuk ke Renah Kemumu adalah Desa Renah Alai berjarak 97 km dari Bangko.

Suasana terasa mencekam ketika kami melewati Desa Sei Lalang menuju Desa Renah Alai. Jalan sepanjang 8 km itu dipercaya konon sangat angker, juga berbahaya. Kiri-kanan jalan dipenuhi hutan lebat. Pada saat memasuki kilometer pertama terdapat, di sebelah kiri jalan tampak bekas Rumah Hitam, markas anggota TNI-AD berjuluk “Tim Laba-laba” yang membuat jalan. Karena terusik dengan rumah yang terkesan angker itu, masyarakat pun membongkarnya. Yang juga menakutkan adalah binatang buas yang kerap muncul dan mengancam nyawa manusia.

Masyarakat Serampas boleh dibilang belum tersentuh modernisasi. Hanya Desa Renah Alai yang boleh dibilang cukup maju. Total ada 2.150 jiwa yang bermukim di lima desa itu. Pada 1965, Desa Renah Kemumu 650 jiwa, Tanjung Kasri 450 jiwa, Lubuk Mentilin 250 jiwa, Rantau Kermas 600 jiwa, dan Renah Alai 1.200 jiwa. Hingga kini, mereka masih teguh memegang adat istiadat.

Kelima desa itu sesungguhnya berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, daerah yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 14 Oktober 1999. Pengukuhannya pun dideklarasikan sejak 1982. Pernah pada 1992, Bupati Merangin ketika itu, Bambang Sukowinarno, mengumumkan kepada masyarakat agar dua desa terujung: Tanjung Kasri dan Renah Kemumu, direlokasi.

Tapi dalam suatu forum resmi, seorang tokoh masyarakat Serampas bernama Alutral B. Serampas 

menolaknya. ”Ini tanah nenek moyang kami. Jauh sebelum ada Taman Nasional, kami sudah berada di sana. Apapun alasannya kami tidak akan pindah!” ujarnya dengan nada keras di depan pejabat teras Merangin. Alhasil, rencana relokasi pun gagal.

Alutral B. Serampas

Alutral adalah orang pertama Serampas yang dianggap sukses. Ayah satu anak ini sejak masuk tahun 1987 hingga sekarang dipercaya menjadi Kasi Penanganan Jembatan Dinas PU Kabupaten Merangin. “Itupun karena setamat SD saya sudah ke luar dari Serampas dan diasuh orangtua angkat. Kalau tidak, belum tentu saya bisa seperti ini,” kata pria berusia 55 tahun itu.

Wacana relokasi itu terus berkembang hingga kini. Namun para aktivis di Jambi terang-terangan menentang. Direktur LSM Pinang Sebatang, Husni Thamrin, memandang negara tidak adil karena masyarakat sudah lebih dulu menetap di daerah itu. “Masyarakat jangan dipandang sebagai kaum yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Mereka semestinya memiliki hak kelola dan terbukti mereka memiliki kemampuan melestarikan hutan,” katanya.

Menjadi Objek Penelitian

Kawasan marga Serampas pernah menjadi objek penelitian. Dr. Bill, seorang ahli kepurbakalaan Inggris adalah orang pertama yang meneliti di Serampas. Pada tahun 1972-1974, pria berdarah Inggris itu diutus Pemerintah Kanada dengan berpatokan peta dari Den Haag. Kedatangannya yang diberi nama “operasi gading dua”, sebenarnya dimaksudkan untuk melihat potensi emas dan sejarah Serampas.

Bill Watson meneliti dari Desa Ranah Kemumu sampai ke Desa Seblat Ulu, yang kini masuk wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Ia menggali lubang dengan panjang 4 meter, lebar 2 meter, dan kedalaman 4 meter. Berdasarkan penggalian itu, Bill Watson menyatakan bahwa pada 4.000 tahun lalu, di kawasan itu pernah berdiri sebuah kerajaan. Sama tuanya dengan kota Victoria di Afrika Selatan dan Kutai di Kalimantan. Sementara itu, hasil penelitiannya soal potensi emas tidak dijelaskan.

Pada tahun 2002-2006, John David Neidel, seorang arkeolog Amerika Serikat, kembali meneliti. Penelitian ini meliputi kawasan sangat luas, mulai Desa Lempur, Renah Kemumu, hingga kampung terujung di Kecamatan Jangkat, yakni Desa Pematang Pauh. David menelusuri 24 situs bekas dusun lama yang pernah ada di sekitar Renah Kemumu. Ia juga meneliti tiga kuburan besar yang ada di Serampas dan menelusuri semua benda peninggalan.

Hasilnya, David Neidel menemukan bukti bahwa masyarakat Serampas bercorak tradisi megalitikum. Bahkan tradisi megalitikum di dataran tinggi Jambi bertahan hingga kedatangan Islam. Di kawasan tersebut, tradisi ini tampaknya baru berakhir pada abad ke-18. Ketika itu, Sultan Jambi memerintahkan kepada para penguasa (depati) di dataran tinggi Jambi agar mengubah kepercayaannya.


Pohon kayu manis di kebun warga

Hal itu dikuatkan Agus Widiatmoko, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jambi. Agus, yang ikut bergabung dalam tim peneliti David Neidel, menyimpulkan bahwa peninggalan yang ada di Serampas memiliki keterkaitan dengan tradisi yang masih dipertahankan hingga kini. “Tradisinya secara turun temurun masih sama. Namun karena Islam sudah masuk, maka alat-alat pemujaannya berupa benda-benda sudah ditinggalkan,” ujarnya.

Asal-usul yang Masih Kabur

GATRA tidak menemukan referensi yang menguraikan secara jelas asal-muasal marga Serampas. Bahkan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Merangin mengaku tidak memiliki referensi apapun. Seorang staf bidang perencanaan di dinas itu, Fredi Yusman, mengungkapkan bahwa pihaknya belum pernah melakukan penelitian, baik tentang kebudayaan, asal-muasal maupun kondisi perekonomian masyarakat Serampas. “Kemungkinan besar karena tidak tertarik makanya tidak pernah dilakukan penelitian. Kami juga kesulitan SDM untuk meneliti, baik secara perorangan maupun instansi,” katanya.

Apa boleh buat, riwayat marga itu hanya bisa disusun berdasarkan cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat setempat. Terkisah, Nabi Idris memiliki tiga anak. Anak pertama Sultan Rajam Ruhum, berkelana ke daerah Cina. Anak kedua, Sultan Rajo, merantau ke Jepang. Konon anak ketiganya, Sultan Rajo Maha Dirajo, inilah yang merantau hingga ke Minangkabau.

Di Minangkabau dia mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Pada saat itu, dia masih menganut agama Hindu. Setelah berganti nama menjadi Nenek Sigindo Siakro dia menetap di Serampas. Kemudian keturunannnya menyebar ke Koto Tapus hingga ke Pulau Sangkar, Kerinci. “Begitulah asal-muasal leluhur kami. Itu bukan hanya dari cerita dari orang-orangtua kami, melainkan juga sudah kami tanyakan langsung lewat ritual batin,” kata pemimpin adat Serampas. Soal benar tidaknya cerita ini, ya, wallahualam!

Sebagai prinsip hidup, masyarakat Serampas berpatokan pada filosofi adat, yang dalam bahasa mereka disebut cerambah. Dalam bahasa mereka disebutkan ”Mra piko mra pano ula lingkok ula lidi, hilang tuto hilang tengano, celak pesko dapek dek kanti“. Artinya, kalau masyarakat tidak tahu dengan tali darahnya atau pecahan keluarganya di masa dahulu, masyarakat itu tidak akan pernah mengenang masa lalu nenek moyangnya. Akibatnya, tanah ulayat adat pesko dikuasasi orang lain yang tidak ada garis keturunannya.

Inilah yang membuat masyarakat Serampas selama beratus-ratus tahun memilih bertahan di tanah leluhur. Ada cerambah lain yang jadi pegangan hidup mereka, yakni “Miskin ngadang nasib, kayo ngadang nasib“. Artinya, orang yang miskin dan kaya itu sudah ditentukan Yang Mahakuasa.

Kearifan Lokal Masih Bertahan

Kearifan lokal pada masyarakat Serampas cukup menarik disimak. Masyarakat setempat dilarang keras menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Mereka percaya karena hal itu bisa mengakibatkan bemcana. Tanah juga dilarang dijual kepada orang luar. Jika ketahuan, orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih desa atau anak negeri.

Kayu-kayu yang ditebang dari hutan pun tidak boleh diperjualbelikan. Biasanya hanya untuk konsumsi sendiri dan untuk kayu bakar. Jika ingin membuka ladang semua kayu boleh ditebang kecuali cempedak, manggis, durian, petai, pohon seri, yang buahnya biasanya dimakan burung). Alasannya, tanaman itu peninggalan nenek moyang. Berladang di dekat hulu sungai pun dilarang, karena sering menyebabkan sakit-sakitan, bahkan bisa meninggal.

Soal kepemilikan tanah juga diatur dalam adat. Setiap warga dibatasi maksimal memiliki 2 hektar lahan dalam kurun waktu satu tahun. Tanah tersebut wajib ditanami. Mereka yang mampu bisa memiliki lahan lebih hingga maksimal 4 hektar, dengan catatan lahan tersebut ditanami. Setiap orang dilarang pula memiliki rumah lebih dari satu buah. Selain itu, meskipun hidup pas-pasan, mereka mewajibkan warga menunaikan zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan.

Untuk menghindari masuknya wabah penyakit, masyarakat adat Serampas punya cara tersendiri pula. Mereka melarang keras orang membawa telur atau ayam dari luar, sekalipun sudah dimasak. Begitu pula sebaliknya, ayam dan telur dari dalam tidak boleh diperjualbelikan ke luar. Ternak itu semata-mata untuk kebutuhan pangan mereka sendiri.

Ihwal pernikahan, ada juga aturannya. Dalam kesepakatan adat hasil rapat pada tahun 2000 diputuskan bahwa orang Serampas dilarang menikah dengan “orang selatan”. Yang dimaksud adalah orang-orang yang berasal dari Bengkulu, Palembang, dan Lampung, yang dinilai cenderung mengabaikan adat istiadat setempat.

Lewat sedikit dari Dusun Tuo, Kecamatan Lembah Masurai ada sebuah desa bernama Sei Tebal. Desa ini mayoritas didiami orang Bengkulu dan Palembang, yang melakukan eksodus pada 1990-an. “Mereka inilah yang kerapkali membuat kekacauan,” kata Jamaluddin.

Sebagian besar rumah Serampas berbentuk rumah panggung. Rumah tembok baru ada di Rantau Kermas dan Renah Alai yang baru ada rumah tembok. Jumlahnya pun sangat sangat sedikit. Untuk rumah ini, marga Serampas hanya mengenal tiga jenis atap: atap ijuk, atap bambu yang dibelah dua hingga panjang 4 meter, dan atap lapis yang terbuat dari kayu yang besar-besar. Lantai terbuat dari papan. Pada zaman dahulu, lantainya terbuat dari bambu dan dilapisi tikar.
Tiang rumah minimal enam. Tapi rumah warga yang paling kaya bisa hingga 16 tiang. Bangunannya terbagi dua, yakni rumah luar dan rumah dapur. Di rumah dapur, ada kamar tempat tidur sang pemilik rumah. Rumah luar atau gedang digunakan jika ada pertemuan. Berkumpul dengan orang desa atau saudara dekat biasanya cukup di rumah dapur.

Rumah-rumah asli marga Serampas kini hanya ada di tiga desa: Rantau Kermas, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Tapi jumlah rumah adat ini paling banyak bisa kita temukan di Renah Kemumu.

Pendidikan Masih Memprihatinkan

Warga desa masih menganggap tabu menyekolahkan anak perempuan

Pola pendidikan pada masyarakat Serampas sama seperti masyarakat lain. Sekolah dasar ada di setiap desa. Bangunan selebar 7 meter dengan panjang 27 meter itu awalnya hanya terdiri dari tiga kelas. Namun guru dan masyarakat berinisiatif membagi dua setiap kelas tadi, sehingga jumlahnya menjadi enam kelas. Maklum, siswanya sedikit. Rata-rata tiap kelas hanya sekitar 20 orang.

Ketika sedang dalam perjalanan menuju Tanjung Kasri, GATRA tanpa sengaja melihat kondisi SD 50/VI di Desa Lubuk Mentilin. Karena bangunannya hancur karena gempa, kini para siswanya kini terpaksa belajar menggunakan tenda bantuan Pemerintah Provinsi Jambi. Sebenarnya bangunan sekolah itu bukan hanya hancur dihantam gempa, melainkan juga karena kondisinya yang tua. Sejak dibangun pada 1983, bangunan sekolah itu belum pernah direhabilitasi.

Jumlah siswa di sekolah dengan empat guru itu hanya 31 orang. Kondisi di dalam kelas terpal cukup panas. Nyamuk pun ada di mana-mana. Ini jelas mengganggu konsentrasi mereka. “Ya beginilah kondisi kami. Jika tidak segera dibangun, kami khawatir aktivitas belajar-mengajar akan berhenti. Tenda ini kami perkirakan hanya mampu bertahan tiga bulan lagi. Sedangkan dana perbaikan bangunan sekolah kabarnya turun pada akhir tahun ini, dialokasikan lewat dana DAK,” tutur Kepala Sekolah, Mat Jufri. 

Sekolah menengah pertama ada juga di tiga desa: Tanjung Kasri, Rantau Kermas dan Renah Alai. Gedungnya masih satu atap dengan sekolah dasar. Kalau ingin melanjutkan ke SMA mereka harus bersekolah ke Bangko. Untuk itu, dana yang dikeluarkan lumayan besar. Biaya per bulan di luar sewa rumah rata-rata Rp 500.000. Kalau seorang siswa SMA asal Renah Kemumu mau pulang kampung, ia harus harus mengeluarkan Rp 300.000 sekali jalan.

Namun di luar soal biaya, kesadaran untuk bersekolah terhitung masih rendah, ditambahnya kurangnya dorongan dari tokoh masyarakat dan kepala desa. Masih ada yang enggan bersekolah setingkat sekolah dasar sekalipun. Malah masih ada warga yang enggan bersekolah setingkat sekolah dasar sekalipun. Sedikit sekali dari mereka yang menyentuh bangku SMA, apalagi kuliah. Warga desa pun masih menganggap tabu menyekolahkan anak perempuan hingga ke luar desa, karena dikhawatirkan merusak nama keluarga.

Ongkos Mahal, Bensin Pun Mahal

Suhu udara di Serampas cenderung dingin. Tanahnya subur dan cocok untuk segala jenis tanaman perkebunan, misalnya jeruk, durian, apel, dan anggur. Dibandingkan dengan empat desa lainnya, Desa Renah Alai yang paling dingin karena letaknya sekitar 1.200 di atas permukaan laut. Dan hanya di desa ini yang tidak dapat ditanami padi. Di Renah Kemumu dan Tanjung Kasri terdapat padi sawah dan padi ladang. Sedangkan Lubuk Mentilin dan Rantau Kermas, masing-masing hanya dapat ditanami padi ladang dan padi sawah.

Ongkos ojek mencapai Rp 100.000 per orang

Selain padi, kulit kayu manis dan kopi merupakan hasil utama kebun warga Serampas. Sedangkan di tiga desa yang paling terisolasi, Renah Kemumu, Tanjung Kasri, dan Lubuk Mentilin, hasil kebun sayuran seperti kentang, cabe, atau bawang hanya untuk dikonsumsi sendiri. Demikian pula padi, yang sangat tabu dijual, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Lain lagi dengan warga Renah Alai dan Rantau Kermas. Karena transportasi cukup lancar, hasil bumi utama mereka - kentang, cabe, kopi, dan kulit manis – dijual ke Jambi, Bengkulu, Lampung dan Padang. Sayur-mayur juga mereka tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pasar terdekat yang dapat mereka jangkau adalah Pasar Simpang Danau Pauh. Lokasinya sekitar 28,5 km dari Tanjung Kasri. Biaya yang harus mereka keluarkan untuk membawa hasil kebun itu cukup besar. Ongkos ojek dari Tanjung Kasri ke Simpang Danau Pauh saja sekitar Rp 100.000 per orang. Belum lagi ongkos angkut barang Rp 1.000 per kilogram.


Kalau mau membawa dagangan ke Bangko, ongkos mobil dari Simpang Danau Pauh sekitar Rp 50.000 per kilogram. Sedangkan ongkos angkut barang tak kurang dari Rp 500 per kilogram. Faktor ongkos transport dan biaya angkut inilah yang membuat beberapa komoditas jadi mahal di Tanjung Kasri. “Mungkin garam yang termahal di daerah kami. Harganta bisa mencapai Rp 4.000 per kilogram,” kata Kades Tanjung Kasri, Ali Guntur.

Jadi, tak perlu heran, harga bensin di sana pun selangit: bisa sampai Rp 11.000 per liter!

Pemuncak: Sang Pemimpin Tradisional
Abdul Muris

Senyumnya ramah menyambut kedatangan saya. Dia bahkan langsung turun dari tangga rumahnya menghampiri. “Mari silakan masuk,” katanya dengan bahasa Indonesia yang patah-patah.

Saya langsung ditawari untuk menyeduh kopi sendiri. Di ruang tamu, tersedia toples yang masing-masing berisi kopi, teh, dan gula. Air panas dalam termos juga sudah tersaji dalam nampan kecil. “Di sini memang begitu adatnya. Tamu membuat sendiri minumannya,” ujar pria itu.

Entah dari ruangan atau dari tubuhnya, aroma kemenyan meruap menusuk hidung. Kenapa tamu dipersilakan menyeduh kopi sendiri? Konon, ini untuk menepis tudingan terhadap Serampas bahwa daerah itu adalah sarang racun.

Dari raut wajahnya terlihat jelas, pria ini tak muda lagi. Usianya tak kurang dari 80 tahun. Namun suaranya masih bersemangat dan meledak-ledak ketika diajak mengobrol. Di depan rumahnya tertulis: ‘dukun tradisional’.

Pria bernama Abdul Muris itu adalah seorang dukun sumba -- sebutan untuk dukun sakti bagi marga Serampas. Dia menyandang jabatan itu sejak 1974. Tak semua orang bisa memegang predikat ini. Hanya orang yang masih titisan atau garis keturunan Nenek Sigindo Balak dan Nenek Sigindo Uko Berhalo yang punya hak itu.

Baru sebulan yang lalu, Abdul Muris terpilih menjadi pemuncak -- sebutan bagi pemimpin adat tertinggi warga Serampas. Lengkapnya bergelar Depati Sri Bumi Putih Pemuncak Alam. Tadinya kepemimpinan pemuncak fleksibel dan waktunya tidak dibatasi. Selagi masyarakat menginginkan, pemuncak akan tetap memimpin. Sebaliknya, jika tidak, masyarakat bisa memberhentikannya dan memilih pemuncak baru. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, ternyata jabatan pemuncak sudah dibatasi lima tahun.

Pusat pemerintahan sejak dahulu hingga sekarang berada di Desa Tanjung Kasri. Pemuncak dipilih berdasarkan garis keturunan Nenek Sigindo Balak dan Nenek Sigindo Uko Berhalo. Tak ada proses seleksi untuk memilih calon pemuncak. Syaratnya cuma memiliki kejujuran dan ilmu kebatinan di atas rata-rata masyarakat Serampas. Setiap desa mengusulkan calon pemuncak. Akhirnya pemilihan dilakukan secara voting.

Setelah seseorang diangkat menjadi pemuncak, dengan membakar kemenyan, roh nenek moyang akan mudah menghampirinya. Setelah pemenangnya diumumkan, disiapkanlah pesta penobatan dengan beras 100 gantang atau sekitar 250 kg, plus seekor kerbau. 

Penobatan pemuncak itu biasanya digabungkan pada kenduri sko. Kenduri ini digelar setelah Lebaran karena panen biasanya menjelang bulan Ramadhan. Tuan rumah kenduri sko bergiliran. Pada Maret mendatang, penobatan pemuncak akan digelar di Renah Kemumu.

Sesekali dia tertawa mengenang perilaku masyarakatnya yang secara turun temurun masih setia pada adat istiadat. Dia sama sekali tak keberatan ketika dirinya dipotret. Dia mengaku nyaman dengan kehidupan pada saat ini. Orang modern dipandangnya justru banyak yang munafik. Apa yang diucapkan berbeda jauh dengan perbuatan.

Menurut Abdul Muris, falsafah hidup yang mereka pegang adalah: janji nak ditepat, krak nak dihuni; semayo nak ditunggu, kato petang harus sampai pagi, kato pagi harus sampai pagi pulo. “Omongan atau janji harus sesuai dengan yang diucapkan. Antara perbuatan dan perkataan tidak boleh meleset,” Abdul Muris mengartikannya. Entah maksudnya menyinggung atau tidak, dia mengaku jenuh menonton televisi yang menunjukkan tabiat manusia modern cenderung sering berbohong.

Ritual Warisan Berbenturan Agama

Sebagian besar warga Serampas menjalankan agama dengan taat

Sore itu, seorang pria diantar sang dukun sumba menuju makam Nenek Tigo Silo di Desa Renah Kemumu. Setelah melepaskan pakaiannya hingga tak ada yang tersisa, sekujur tubuhnya pria itu dibalut dengan kain kafan. Setelah duduk bersimpuh di depan makam, di sampingnya ditaruh kemenyan yang sudah dibakar. Gunanya, untuk memanggil roh empunya makam.

Ritual ini bisa dilakukan satu hari satu malam hingga maksimal tiga hari tiga malam. Dalam sehari hanya dibekali satu kepal nasi putih. Setelah semuanya beres pria itu ditinggalkan sendirian.

Warga Serampas menyebut ritual ini dengan tarak (bertapa). Peminatnya selalu ada. Dalam setahun minimal 30 orang. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Jambi, Pekanbaru, Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Jawa. Bayarannya tak pernah dipatok, tergantung keihklasan. Yang penting sang dukun dan desa tempat bertapa mendapat imbalan.

Ada beberapa tempat untuk lokasi bertapa. Selain makam Nenek Tigo Silo, ada dua tempat lainnya: makam Nenek Sigindo Balak dan Tapak Sigindo Bujang. Dua kuburan ini berada di Tanjung Kasri. Ada pula yang bertapa di Gunung Pandan dan Gunung Hio. Biasanya mereka bertapa untuk menimba ilmu kebal, ilmu kuat, dan ilmu pengasih. Hanya orang-orang yang berniat baik menuntut ilmu yang diyakini berhasil menyelesaikan prosesi pertapaan ini.

Itulah salah satu ritual kuno yang masih dipertahankan. Ritual ini jelas bertentangan dengan agama yang dianut warga Serampas yakni Islam. Selain itu, masih banyak ritual lainnya yang dipertahankan. Warga Serampas sendiri menyebutnya sebagai kombinasi antara kepercayaan asli, Hindu, dan Islam. Sebelum Hindu dan Islam masuk, kepercayaan yang dianut masyarakat adalah mengultuskan roh-roh dan penunggu gunung. Mereka kerap membuat persembahan berupa sesajen.

Ritual yang terkenal adalah kenduri sko. Sko singkatan dari pesko yang berarti pusaka. Dulu bisa dilakukan tujuh hari tujuh malam. Tapi sekarang hanya dilakukan sehari semalam. Tiga benda pusaka biasanya akan dikeluarkan untuk dibersihkan. Ada pusaka berupa tombak (kuju) yang diberi nama Kuju Panjang Krasetyo. Lalu Kain Sari Biang Langit berupa kain berukuran 2,5 x 2,5 meter warna hitam, kuning, dan kemerah-merahan bergambar matahari. Terakhir, pusaka Kendi Udang Burung-burung. Tiga benda pusaka itu diyakini berasal dari Kerajaan Mataram dan Pagaruyung.

Dalam adat Serampas, ada pengumpulan dana secara swadaya yang dikenal dengan istilah bayar pa. Tujuh hari sebelum pelaksanaan kenduri, ninik mamak mengumumkan tentang besar-kecilnya bayar pa agar masyarakat bisa bersiap-siap. Setiap warga wajib bayar pa, kecuali bagi yang belum menikah dan orang tua renta. Warga yang tidak bayar pa akan didenda adat berupa segantang beras dan seekor ayam.

Satu tumbi (kepala keluarga) wajib memberikan tiga ekor ayam, 10 batang lemang, 10 ibek (bungkus) nasi cerai (nasi biasa) dan 10 ibek nasi pulut (ketan). Kemudian semuanya dikumpulkan di balai desa. Khusus lauk pauk saja yang akan dimasak di balai desa. Hanya orang-orang tertentu yang ditunjuk pemimpin desa yang diperkenankan untuk memasak dan menghidangkan masakan itu.

Setelah berkumpul, masyarakat akan disajikan hiburan tauh, tari sorak sorai yang diiringi dengan redap gong dan pantau -- mirip bernyanyi dengan nada tinggi menggunakan pantun. Tauh kebanyakan dimainkan oleh lelaki ketimbang perempuan.

Tauh itu berbeda-beda. Maklum, dalam kenduri sko ini biasanya masyarakat dari luar Serampas diundang. Misalkan tauh dari Gunung Kerinci berbeda dengan tauh dari Gunung Masurai. Begitu pula tauh dari Gunung Sumbing, Gunung Kunyit, Bukit Bungkuk -- sekarang dikenal Gunung Kaba. Pertunjukan lainnya adalah silat.

Acara pertama adalah menyambut pusaka dari tempat penyimpanannya yang dibawa memasuki balai adat atau desa, disambut dengan redap gong diiringi pencak silat dan pantau. Sebelum pusaka itu dibawa ke balai desa, di rumah pemuncak terlebih dulu dibuat acara jelang pesko. Ritualnya ditandai dengan pembakaran kemenyan. Setelah masuk balai, kain dibentangkan di bawah dek. Kemudian kendi dan tombak ditaruh di lantai. Di bawah itulah sang dukun sumba membuat ureh (ramuan).

Pada kenduri sko, tempat duduk masyarakat biasa dengan para pemimpin berbeda. Para pemimpin seperti depati, dukun, mantan kepala desa, tokoh masyarakat duduk melingkar dan berhadap-hadapan. Sedangkan masyarakat biasa memunggungi mereka. Menu makanan yang disajikan sama, yakni lemang, gulai ayam atau kambing, kuah gulai dan nasi. Yang membedakan adalah porsinya. Porsi makanan bagi dukun sumba yang bertugas membersihkan benda-benda pusaka berukuran jumbo. Dia mendapat tambahan nasi 15 ibek.

Menu lainnya adalah nasi putih ditaruh di dalam mangkuk belantan (putih). Ukurannya seperti nasi tumpeng. Di atasnya ditaruh telur ayam yang telah dikupas, ditutup dengan daun, sementara telurnya tampak sedikit. Nasi ini disebut nasi punjung. Yang pertama mencicipi nasi ini adalah sang dukun. Setelah itu barulah warga bisa menikmatinya. 

Setelah labuh lek (penghujung) kenduri sko, pagi harinya barulah digelar acara puncak memandikan benda pusaka. Sang dukun segera menyiapkan ramuan dalam baskom besar. Usai menyiapkan ramuan, dengan membakar kemenyan dan membaca mantra, dukun mulai membersihkan benda pusaka tersebut. Air hasil memandkian benda pusaka itu tidak serta merta dibuang. Masyarakat meyakini khasiatnya.

Tak mengherankan, masyarakat langsung berebut mengambil airnya. Ada yang menggunakan gelas dan mangkuk kecil. Masyarakat meyakininya berkhasiat untuk obat. Misalnya untuk obat demam atau kerasukan makhluk halus. Bisa pula untuk mengusir hama di sawah, bahkan disiramkan di sekitar rumah untuk menangkal balak (bahaya).

Selain memandikan pusaka, banyak ritual lain yang dilakoni masyarakat Serampas. Dari ritual merencam (menanam) padi ladang hingga menjelang menuai padi (menjemput padi). Ada juga ritual setelah panen padi atau sebelum bulan Ramadhan, yang biasanya diisi acara makan padi baru. Sejenis syukuran yang dihadiri pemuncak, ninik mamak, dan alim ulama. Demikian pula ritual untuk bayi yang baru lahir.

Uniknya, ada sikap mendua pada masyarakat Serampas. Di samping tetap menjalani ritual kuno, mereka juga menerapkan denda adat terhadap warga yang tidak menjalankan perintah agama. Sebagian besar masyarakat Serampas menjalankan agama dengan taat. Mereka nyaris tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Anak-anak yang telah berusia lima tahun atau sudah bisa menulis dan membaca diwajibkan mengaji.

Sanksi atau denda dalam bahasa Serampas adalah butang, artinya berutang. Jika tidak membayar denda dalam tempo tertentu, orang yang terkena denda itu akan dikucilkan dari adat. Dia juga tak boleh hadir dalam acara-acara adat seperti kenduri sko. Kalau sakit, tidak akan dijenguk. Kalau meninggal, tidak diadatkan dan tidak dihadiri pemimpin adat. “Kami bisa tenang hidup di sini, ya, karena adat. Di sini kan tidak ada polisi. Jadi, pegangan hidup dan aturan main kami, ya, diatur dengan adat,” kata Abdul Muris.

Incung di Tengah Upaya Pelestarian

Tinggal tiga orang yang mampu membaca aksara kuno Kerinci. Upaya pelestarian akan dilakukan dengan memasukkannya menjadi muatan lokal di sekolah dasar. 

Iskandar Zakaria

Usianya memang tak muda lagi, menginjak 68 tahun. Tapi semangatnya tak pernah pudar melestarikan peninggalan bersejarah. Dialah salah satu tokoh yang dikenal tekun menyalin agar aksara incung itu tidak punah. Pria itu adalah Iskandar Zakaria.

Pada 23 Juli 2006, Iskandar pernah menggegerkan Bumi Nusantara dan mencatat rekor MURI. Ia memamerkan Al-Quran sepanjang 1.919 yang berisikan 30 juz dari bundaran Hotel Indonesia hingga Tugu Monas di Jakarta.

Aksara Incung adalah salah satu aksara kuno di Kabupaten Kerinci. Sebelumnya di Sumatra sudah dikenal aksara Batak, Rejang, dan Lebong. Dalam bahasa Indonesia, aksara itu disebut rencong karena bentuk tulisannya yang agak miring dan diduga ditulis dengan alat yang berbentuk agak runcing. Belum ada peneliti yang berhasil memastikan alat itu, termasuk siapa yang menciptakan aksara incung.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Tua yang tidak lagi digunakan masyarakat Kerinci untuk berkomunikasi. Peninggalan karya sastra dengan aksara yang konon sudah digunakan setelah abad ke-7 itu didapati lewat media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, dan kertas.

Aksara itu boleh dibilang nyaris punah sejak Belanda masuk Kerinci pada 1903. Adalah L.C. Westenenk yang pertama kali meneliti surat incung. Yakni pada 1922. Selanjutnya, peneliti berdarah Belanda, Dr. P. Voorhoeve dibantu sejarawan Indonesia, Poerbatjaraka, berhasil menyalin aksara incung itu pada 1939 dan 1940.

Iskandar Zakaria, yang masih menjabat sebagai Kepala Inspeksi Daerah Kerinci (Idakep) mulai tertarik untuk menyalin dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Latin pada 1970-an. Tiga pemuka adat -- M. Kabul Ahmaddirajo, A. Kadir Jamil, dan Usuluddin -- dimintanya mengajari arti setiap kata dalam aksara incung.

Aksara incung tidak mudah ditemukan. Hanya diperlihatkan ke publik pada acara-acara adat seperti kenduri sko atau pesko (pusaka). Iskandar pertama kali melihat pada kenduri sko tahun 1972. Dalam acara penobatan para depati dan ninik mamak di Sei Penuh, ternyata aksara kuno itu dikeluarkan untuk dibersihkan.

Iskandar mengaku pada September 2009 sudah mengajukan ke Bappeda Kota Sei Penuh agar aksara ini dijadikan sebagai muatan lokal dan menjadi kurikulum di tingkat SD dan SMP. Untuk kabupaten juga dia mengajukan hal yang sama. Menurut Kadis Pariwisata, dia akan menghubungi Kadis Pendidikan untuk merealisasikan ide tersebut. “Saya masih menyusun bukunya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat selesai,” katanya kepada GATRA.

Isinya, kata Iskandar seputar sejarah aksara incung, perbandingan dengan aksara lain di Sumatra, perkembangannya, dan permasalahannya setelah masuknya Belanda. Kini yang bisa membaca aksara itu, selain Iskandar, hanya tinggal 2 orang, yakni Amirudin Gusti dan Alimin. Keduanya adalah pemuka adat.

Iskandar belum menghitung berapa jumlah aksara yang telah dikumpulkan. Yang jelas, menurut dia, dari semua aksara yang ada di 90 rumah adat di Kerinci, paling-paling tinggal 10-15 luhak lagi yang belum tersalin. “Kalau dulu P. Voorhoeve hanya berhasil menyalin 86 media aksara, saya sudah menyalin semua dari 90 rumah adat atau lebih dari 100 media aksara,” katanya.

Incung memang ditulis pada berbagai media, seperti bambu, tanduk, kulit kayu, daun lontar, dan kertas, sesuai perkembangan zaman ketika itu. Incung yang ditulis pada bambu biasanya berisi ratap tangis dan penyesalan. Diyakini saat itu Islam belum masuk ke Kerinci. Setelah itu, barulah ditulis dalam media tanduk yang sering berisi sejarah dan asal-muasal. Kemudian muncul lagi dalam bentuk daun lontar yang berisi sejarah dan perjalanan seseorang. Lalu muncul media kulit kayu yang juga berisi ratap tangis dan penyesalan.

Terakhir dalam bentuk kertas buram yang berisi asal-muasal dan sejarah. Selain media bambu, tulisan incung pada serat sudah bernapaskan Islam. Maklum saja, setiap tulisan selalu dimulai dengan kata ‘asallamualaikum’ atau ‘bismillah’. Khusus untuk tanduk, ada pula yang pra-Islam.

Selain itu, pada pertengahan September 2009, Iskandar juga mengusulkan agar semua nama jalan dan nama kantor di Kerinci menggunakan aksara incung. Maksudnya, agar akasara itu tidak punah. Ini baru diajukan ke Bappeda Kota Sei Penuh dan sudah direalisasikan, tinggal pemasangan.

Untuk Pemerintah Kabupaten Kerinci, Iskandar sudah mengusulkannya kepada Wakil Bupati Kerinci, Abdul Rahman, termasuk kepada Kepala Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kerinci. “Mudah-mudahan segera terealisasi,” katanya.

Pria berdarah Sumatera Barat itu pensiun pada 1998, dengan jabatan Kasi Kebudayaan Kantor Departemen Kerinci. Sejak itu, dia diangkat menjadi Koordinator Benda Purbakala oleh Suaka Purbakala Jambi. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sei Penuh, Yuskal A.P., mengatakan bahwa aksara incung akan diperkenalkan menjadi muatan lokal mulai dari kelas IV SD hingga SMP. “Rencananya, mulai tahun ajaran baru besok akan kami masukkan menjadi tambahan, selain muatan lokal tentang pertanian,” ujarnya.

Sekretaris Daerah Kota Sei Penuh, Arfensa, juga menyatakan bahwa upaya pelestarian aksara incung segera dilakukan. Caranya, dengan mencantumkan aksara incung di setiap nama jalan dan perkantoran. Juga dimasukkan sebagai salah satu motif batik Kerinci. “Kami akan mendidik para seniman batik untuk menumbuhkan guru-guru. Setelah gurunya ada, baru bisa menyebarluaskan ilmunya kepada anak-anak muda,” katanya kepada.

Tidak ada komentar: